Tuesday, October 27, 2020

Sejarah D U K U H S E G E N I N G


Sejarah  DUKUH SEGENING 


I Gede Suputra Widharma

(Disadur, dicuplik, dicopas dari banyak sumber)

Perlu juga diketahui ada beberapa acuan dalam mengenal dan menganalisa tentang keberadaan Dukuh yang ada di Bali, dimana sebenarnya istilah Dukuh sudah ada sebelum datangnya Danghyang Nirartta ke Bali, ini bisa kita lihat dalam Prasasti Dalem Sagening disebutkan; kekosongan pemimpin setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit, dua pendeta Bali yaitu; Dukuh Sakti dan Dukuh Segening memohon raja ke Jawa (Majapahit) untuk mengirimkan utusan menjadi raja di Bali. Pada saat itu yang didatangkan ke Bali adalah Dalem Sagening. Dimana Dalem Sagening nantinya mensetarakan kedudukkan Dukuh Sagening dan Dukuh Sakti yang datang ke Jawa sebagai penghormatan ditambah kata Dalem. Dimana sebelumnya istilah Dukuh itu sudah ada tetapi gelar Dukuh Dalem itu muncul pada era Dalem Sagening sebagai bentuk penghormatan atas jasa yang diberikan pada ke dua Dukuh tersebut.

Dalam Purana Dalem Tarukan, bahwa Dukuh Bunga, Dukuh Jati Tuhu, Dukuh Pantun adalah Bagawanta dari pada Dalem Tarukan. Begitu juga Wangbang Pinatih memiliki seorang ibu dari keturunan Dukuh Bang Sakti.

Dalam Prasasti Manik Angkeran, Besakih menjelaskan, pada saat beliau ada di Bali untuk mengemban Ida Naga Basuki, dalam suatu perjalanan beliau bertemu dengan seorang tokoh tua yang sedang duduk di kiskis (cangkul). Tokoh tua ini habis mengerjakan ladangnya setelah beliau payah beliau duduk diatas kiskis (cangkul). Pada saat itu datanglah Ida Manik Angkeran, dan tokoh tua itu turun dari kiskisnya dan menanyakan siapa gerangan anak muda yang baru datang ini. Anak muda ini menyahut putra dari Mpu Bekung atau yang disebut Danghyang Sidhimantra. Dalam pertemuan ini terjadi suatu perdebatan atau kalau boleh dikatakan suatu bentuk pengujian kemampuan, dimana pada saat itu dilihat tokoh tua ini tiada lain adalah Dukuh Blatungan sedang membakar sampah hasil rabasan di ladangnya dengan menggunakan api biasa, tetapi tokoh muda ini beliau mengatakan mampu membakar sampah ini hanya menggunakan air kencing. Pada waktu itulah tokoh tua ini, kalau memang benar beliau mampu membakar sampah ini hanya menggunakan air kencing maka beliau akan menyerahkan semua sisya dan sanak keluarganya kepada tokoh muda ini. Dan betul pada hari yang telah ditentukan, tokoh muda ini membakar semua rumput itu dengan hanya mengencingi sampah/ rumput tersebut. Sehingga sesuai dengan janji, maka tokoh tua yang tiada lain adalah Dukuh Blatungan ini menyerahkan semua sisya, sanak saudara beserta putrinya diserahkan kepada Manik Angkeran.

Dan pada akhirnya putri Dukuh Blatungan inilah yang menjadi cikal bakal turunnya Warga Manik Angkeran yaitu, yang pertama Sidemen (I Gusti Ngurah Sidemen), yang ke dua Manikan (Gusti Ngurah Manikan), yang ke tiga Wayabya, yang ke empat Pinatih. Dan beliau itulah awal cikal bakal adanya Catur Sanak dari warga keturunan Sidhimantra di Bali yang diturunkan oleh Manik Angkeran. Jadi pada era itu juga dikenal adanya Dukuh yang disebut Dukuh Blatungan.

Sedangkan pura-pura yang ada di Bali, terutama pura gunung yang ada patirtan, itu sepenuhnya di emban oleh Dukuh. Ini bisa kita lihat dari Gunung Lempuyang sampai Gunung Batukaru itu semuanya masih embanan Warga Dukuh. Itu menandakan penghormatan untuk Brahmana Bali di era itu yang sampai saat kini masih ada.

Jadi sangat keliru seseorang menganggap Klen Dukuh itu adalah Brahmana sudrayang telah mabersih (ditahbiskan) menjadi bagawanta kerajaan Bali pada zaman itu, seperti tertulis dalam buku Dinamika Sosial Masyarakat Bali oleh Tim (2008:150). Kita bisa bayangkan bagaimana mungkin seorang sudra menjadi bagawanta seorang raja, yang keturunannya sangat dihormati sampai saat kini. Kalau memang demikian halnya tentunya dari dahulu Bali ini dipimpin oleh orang sudra karena mereka memiliki seorang ibu dan mertua turunan dari seorang sudra yaitu Dukuh.

Dalam Siwa Sasana yang menjadi acuan untuk kesulinggihan di Bali, dimana dijelaskan bahwa yang disebut Brahmana sudra adalah seorang Brahmana (sulinggih) dimana keseharian beliau bekerja sebagai seorang petani disamping melakukan tugasngaloka palasraya, beliaulah yang dikategorikan Brahmana sudra karena tugas, bukan sudra dalam segi wangsa, karena beliau mengambil tugas seorang sudra sebagai petani. Karena petani dalam Catur Warna beliau dikategorikan Sudra. Hal ini perlu dicamkan dengan baik yang disebut Brahmana sudra bukan karena sumbernya dari Sudra tetapi mereka mengerjakan karena tugas dari Warna Sudra sebagai petani yang ada dalam Siwa Sasana yang sampai kini masih dipakai sepenuhnya oleh para Brahmana yang ada di Bali.

Pura Kawitan

Pada intinya pemujaan leluhur (Kawitan) semestinya nama orang atau nama leluhur yang dijadikan pedoman untuk disucikan di pura kelompok warga. Tentu nama leluhur yang pernah hidup pada zaman dahulu dan mempunyai jasa untuk dikenang pada masa kini. Perubahan Catur Warna menjadi Catur Wangsa membawa dampak kebingungan bagi warga Bali Mula di dalam menentukan nama leluhur yang akan dijadikan patokan untuk disucikan. Sistem Catur Warna yang menjadi pegangan warga Bali Mula lahir berdasarkan guna karma, tugas dan pekerjaan yang pernah di emban oleh leluhur pada zaman dahulu, sedangkan Catur Wangsa muncul pada era Majapahit ditentukan berdasarkan kelahiran dari kelompok warga tertentu.

Beberapa acuan yang dijadikan pedoman oleh orang-orang Bali Mula untuk menentukan nama Pura Kawitan pada masa kini antara lain,

1) Nama Kawitan berasal dari nama leluhur yang disucikan, misalnya, Pura Kawitan Sri Karang Buncing, Pura Kawitan Dalem Tarukan, Pura Kawitan Kresna Kepakisan dan lain-lain yang tercatat kisah perjalanan hidupnya.

2) Nama Kawitan berasal dari nama kelompok pekerjaan/ jabatan yang pernah diemban oleh leluhur pada masa lalu, namun kurang jelas siapa nama leluhur sebenarnya, misalnya, pasek, pande, penyarikan, dukuh, kubayan, bendesa, si, juru bahu, samgat, senapati dan lainnya.

3) Nama Kawitan berasal dari nama sekte yang dianut oleh leluhur di masa lalu misalnya, Bujangga Waisnawa, Pendeta Siwa, Pendeta Budha, Pitamaha (Pendeta sekte Brahma) dan lainnya.

4) Nama Kawitan berasal dari aguron-guron misalnya, warga Pasek berguru nabe dengan pendeta Dukuh, setelah dwijati diberi gelar Dukuh, yang semestinya warga Pasek bergelar Sri Mpu, lama kelamaan keturunannya menyebut diri warga Dukuh. Atau pragusti berguru nabe dengan Ida Pedanda setelah dwijati menyandang dua gelar yaitu Ida Pedanda Rsi Bhagawan.

5) Nama Kawitan berasal dari anugrah penguasa, misalnya, Pura Dukuh di Banjar Perarudan, Jimbaran, Kuta Selatan awalnya paibon Sri Batu Putih (Dalem Putih Jimbaran) dengan putranya Dalem Petak Jingga. Karena ekpansi para Arya Majapahit, Pura Dukuh ditinggal pergi oleh keluarga Dalem. Dan Pasek dari Desa Kusamba yang mengungsi di Desa Jimbaran diberikan mandat oleh penguasa selanjutnya untuk menjadi pemangku di Pura Dukuh tersebut. Akhirnya lama kelamaan keturunannya menyebut diri warga Dukuh sesuai nama pura yang di empon.

6) Nama Kawitan berasal dari hubungan abstrak tanah ayah-ayahan desa yang ditempati sekarang berasal dari wilayah/ pura tertentu yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi atau sebagai pemilik awal sebelumnya. Dari hubungan abstrak pemilik awal tanah yang ditempati sekarang ini diyakini mempunyai hubungan satu genealogis dengan pangamong pura yang lebih tinggi itu.

7) Nama Kawitan berasal dari nama asal desa sebelum menempati tanah sekarang misalnya, soroh sidakarya adalah nama tempat di Denpasar, soroh beng adalah nama tempat di Desa Sanur, soroh pajeng nama Desa Pejeng dan lain-lain.


Dalem Sagening (Dalem Samprangan) atau Ketut Ngulesir adipati pertama dari Majapahit di Bali beristana di Sampalan (Gianyar) ,, 

Sedangkan Dukuh Dalem Sagening adalah gelar yg diberikan oleh raja kepada Dukuh yg datang ke Jawa untuk meminta pihak majapahit mengangkat adipati di Bali ,, 

Hal ini masih berupa data dualisme ,, 

Ada versi Babad Pasek disebutkan bahwa Kyai Agung Pasek Gelgel yg datang ke Jawa memohon adipati untuk di Bali ,, setelah masuknya para arya di bali ,, 

Ada versi lain bahwa Dukuh Sakti dan Dukuh Sagening yang datang ke Jawa untuk mengisi kekosongan setelah masuknya arya di bali ,, maka Adipati Ketut Ngulesir (Dalem Sagening) memberi gelar Sagening ke dukuh itu ,, begitu pun Gelar Sagening diberikan dukuh sagening kepada Dalem menjadi Dalem Sagening.

Penulis, warga dukuh segening serongga gianyar



Sunday, June 03, 2007


Name : "Gek" Tara Svanendri
- Gek is name of called
- Tara is star (name from Guru via Dada Mitra Acharya)
- Svanendri is name of Sarasvati (the Godness of Science)
Birth : May 30th, 2007
17.15 PM
Prima Medika Hospital (Caesareus Surgery by Dr. Illyas Angsar Team)
My Beloved Daughter "Gek Tara Svanendri" was born on May 30th 2007 at 17.15 PM in Prima Medika Hospital Denpasar by Caesareus Surgery (Dr. Illyas Angsar, Sp.OGK teams).

Gek is her called name
Tara is the name from Guru by Dada Mitra (the means is Star)
Svanendri is the other name of Sarasvati (The Godness of Science)

Plus Name of Familly Dewi Suputra.

Sunday, September 17, 2006


तारा स्वनेंदरी


Here is my picture in Dukuh Segening Wedding Ceremony. .AND THIS ONE IS THE MOST SPECIAL THING IN my live: "mY bELOVED bABY तारा स्वनेंदरी TARA SVANENDRI..



Thursday, September 07, 2006


MY DUKUH SEGENING CEREMONY

In January 27th, 2006 I and Devii Anggreni were merried in Serongga Kelod Village, Gianyar Regency.
My beloved wife data:

Name : Anak Agung Made Dewi Anggreni, S.TP, M.Si
Birth : Denpasar, November 17th, 1974
Job : Lecture in FTP Udayana University
Inisiation : February 2006 by Didi Vishvamitra
Name of Initiation : Devii.

Here, our photos.

Tuesday, August 01, 2006


Clan DUKUH SEGENING SERONGGA KELOD GIANYAR BALI INDONESIA

Pada kesempatan ini, saya ingin menguraikan tentang Clan DUKUH SEGENING yang lahir dan berkembang dari Pulau Dewata ke seluruh dunia.
Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri, sebagai berikut:
*
**
***
****
*****
******
*******
Nama : Suputra Widharma
Panggilan : Diego Ponk
Asal : Banjar Serongga Kelod, Desa Serongga, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali, Indonesia
Kelahiran : Amlapura, 27 Desember 1974 (Orang tua di Jl. Bhayangkara 15, Amlapura, Bali)
Rumah : Jl. Tukad Buaji, Gg Lotus 21, Denpasar, Bali
Pendidikan : S2 Mikrokomputer UGM Jogja (Angk. 2001)
S1 Teknik Elektronika ITN Malang (Angk. 1993)
SMAN 1 Karang Asem (Angk. 1990)
SMPN 2 Amlapura (Angk. 1987)
SDN 5 Karang Asem (Angk. 1980)
TK Bhayangkari Karang Asem
Pekerjaan : Dosen Politeknik Negeri Bali
Clan : Dukuh Segening